oleh R.P.Koesoemadinata
Lain dengan pendidikan kedokteran, hukum, pertanian dan teknik yang telah dimulai pada awal abad ke-20, pendidikan geologi sangat terabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan geologi untuk orang Indonesia terbata tingkatan “mantri opnemer” atau surveyor/juru ukur saja. Untuk kebutuhan tenaga ahli geologi dan insinyur pertambangan pemerintahan colonial Belanda mengandalkan lulusan universitas dan sekolah tinggi teknik dari Belanda da negara Europa lainnya.
Lain dengan pendidikan kedokteran, hukum, pertanian dan teknik yang telah dimulai pada awal abad ke-20, pendidikan geologi sangat terabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan geologi untuk orang Indonesia terbata tingkatan “mantri opnemer” atau surveyor/juru ukur saja. Untuk kebutuhan tenaga ahli geologi dan insinyur pertambangan pemerintahan colonial Belanda mengandalkan lulusan universitas dan sekolah tinggi teknik dari Belanda da negara Europa lainnya.
Keadaan berubah setelah dimulainya Perang Dunia ke II pada tahun 1938 terutam setelah Tentara Jerman menginvasi negeri Belanda, sehingga hubungan terputus. Maka mulailah Pemerintah Kolonial Belanda pada tgl 10 Mei 1938 melalui mendirikan suatu lembaga pendidikan darurat yang dinamakan “Assistent Kursus” (Kursus untuk Asisten Geolog, mungkin sekarang setara dengan D-3) yang berlangsung 3 tahun.
Pendidikan ini dilaksanakan oleh Dienst van het Mijnbouws (Dinas Pertambangan) di Jl Diponegoro 58 Bandung, dengan para ahli geologi daninsinyur pertambangan yang bekerja pada instansi tersebut sebagai pardosennya, antara lain Van Bemmelen. Pendidikan ini diikuti pada umumnya orang-orang Belanda, dan hanya ada 2 orang Indonesia yang mengikutnya sampai selesai yaitu F. Lasut dan Sunu Sumosusastro. Persyaratan mengikuti pendidikan itu adalah lulus sekolah menengah atas, yaitu HBS (Hogere Burgerschool, khusus untuk orang Belanda) atau AMS B ( Algemeene Middlebare School , opsi B/IPA, terutama untuk orang pribumi/Indonesia). Kursus ini hanya berlangsung 1 angkatan saja (3 tahun) karena Tentara Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942.
Maka kedua orang inilah sebetulnya merupakan ahli geologi Indonesia pertama dan boleh dikatakan juga pionir dalam pendidikan geologi.
Semasa pendudukan Jepang pada ahli geologi dan insinjur pertambangan
Belanda masih dipekerjakan oleh penguasa Jepang, khususnya untuk
menterjemahkan laporan2 geologi ke dalam bahasa Inggris, namun Van
Bemmelen masih sempat supervisi pekerjaan geologi lapangan yang
dilaksanakan F. Lasut mengenai endapan jarosit di Ciater, Lembang di
Utara Bandung. Selain itu juga masih ada geolog orang Swiss (waktu itu
negara netral dalam kecamuk perang dunia ke II) yang masih bekerja pada
Dinas Pertambangan di Bandung itu. Jadi pada waktu pendudukan Jepang ini
A. F. Lasut dan Sunu Sumosusastro adalah merupakan staf orang Indonesia
di Dinas Pertambangan di Bandung, dan memegang pimpinan dalam
pengambil-alihan instansi ini pada waktu Jepang bertekuk-lutut dan
terjadi proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
Mereka inilah yang berhasil menyelamatkan arsip dan buku2 geologi ke Jl
Braga di Bandung Selatan, karena kantor Dinas Pertambangan di Jl.
Diponegoro yang berada di Bandung Utara diduduki tentara
Inggris/Belanda, kemudian dipindahkan secara berangsur ke Ciwidey,
Tasikmalaya ke Magelang dan akhirnya ke Jogya sejalan dengan mundurnya
tentara RI. Di antara arsip dan buku2 ini tidak termasuk manuskrip buku
the Geology of Indonesia hasil karya van Bemmelen itu, yang merupakan
cerita lain.
Pada waktu para ahli geologi dan insinyur pertambangan Belanda harus masuk kamp interniran (kompleks tahanan perang), Van Bemmelen menitipkan naskah serta buku-bukunya itu pada orang yang sangat dipercayainya, seorang hoofd mantri opzichter (mantri ukur kepala) yaitu Djatikusumo untuk diselamatkan. Pada waktu Van Bemmelen yang telah dibebaskan dari tahanan meminta kembali titipannya ini, yang bersangkutan menolak dengan alasan sebagai seorang pejuang kemerdekaan ingin menyelamatkan arsip ini untuk kepentingan bangsa Indonesia , dan kemudian membawanya ke tempat asalnya yaitu Malang . Namun kemudian manuskrip dan arsip/buku lainnya dia serahkan ke Dinas Pertambangan yang sudah mengungsi ke Magelang dan kemudian ke Jogyakarta.
Pada waktu pemerintahan RI mengungsi ke Jogyakarta, maka dibentuk pula suatu Pusat Jawatan Geologi dan Pertambangan dibawah naungan Departement Kemakmuran di Magerang, yang dipimpin oleh A.F. Lasut (sebagai kepala) dan (Sunu Sumosusastro sebagai wakilnya). Selain itu juga didirikan beberapa sekolah untuk mendidik tenaga geologi dan pertambangan secara darurat pada Nopember 1946 yaitu:
• Sekolah Geologi Pertambangan Pertama (SGPP), untuk pendidikan juru ukur geologi
• Sekolah Geologi Pertambangan Menengah (SGPM),untuk pendidikan juru ukur geologi penilik)
• SekolahGeologi Pertambangan Tinggi (SGPT), untuk pendidikan asisten geologi, dengan dosennya antara lain Sunu Sumosusastro (kepala sekolah) dan A.F. Lasut. N Lembaga pendidikan ini kemudian pindah ke Jogyakarta, dan nama SGPT berubah menjadi Akademi Geologi dan Pertambangan (AGP).
Pada serangan agresi Belanda ke Jogya pada tahun 1948, A.F. Lasut selaku Kepala Jawatan Tambang dan Geologi diambil tentara Belanda dari rumahnya dan kemudian ditembak dipinggir jalan pada 7 Mei 1949 sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Lembaga pendidikan ini berakhir dengan ujian akhir pada akhir tahun 1949 sehingga berlangsung hanya 1 angkatan saja. Di antara para lulusan pendidikan yang pertama dan terakhir ini adalah: M.M. Purbohadiwidjo, Djajadi Hadikusumo (kemudian pendiri IAGI), Harli Sumadiredja, R. Prajitno (Ketua IAGI yang ke-2), Surjo Ismangun, G.M Mohamad Slamet Padmokesumo, Mohamad Jasin Rachmat dan Sanjoto Soeseno dan Sumardi Umarkatab. Sementara itu Bp Suroso, seorang ahli geologi praktek (autodidak) ex pegawai explorasi Shell/BPM juga mendirikan Sekolah Menengah Geologi di Jogyakarta. Yang akhirnya menjadi Jurusan Tehnik Geologi Universitas Gadjah Mada.
Copyright by Dongeng Geologi : Rovicky Dwi Putrohari
0 komentar:
Posting Komentar